
Seluruh tubuhku terasa dingin dan kaku, begitu juga tubuh kedua anak dan istriku. Hujan yang terus saja mengguyur tanpa henti-hentinya dalam perjalanan kami, seakan tak mau berkompromi dengan kondisi fisik yang diderita oleh kedua anakku. Terlebih lagi beban psikologis yang diderita aku dan istriku.
Masih nyata dalam memoriku. Waktu itu,
Sikap ibuku yang dingin dan tidak mengucapkan satu kata pun sangat membuatku kecewa, apalagi istriku, karena ini merupakan kunjungan perdana sejak kami menikah sepuluh tahun yang lalu. Aku tak mampu berbuat apa-apa melihat kekecewaan dan kesedihan yang mendalam, yang tercermin dalam raut wajah istriku. Bahkan aku merasa bahwa hal itu wajar saja. Betapa tidak, sejak kami menikah ibuku tak pernah memberi restu pada kami bahkan sepatah katapun tak pernah terucap dari mulutnya. Namun, dilain pihak di dalam lubuk hatiku yang terdalam aku tidak menyalahkan siapa-siapa, apalagi ibuku yang sangat aku sayangi dan junjungi seumur hidup, yang dari bibirnya meneteskan hikmat dan wejangan. Semua itu karena aku sadar bahwa akulah yang bersalah. Seharusnya aku yang menanggung semua derita istri dan ibuku. Aku tahu betul kalau ibu bersikap dingin padaku karena ibu masih menyimpan dendam sekaligus amarah yang akupun tidak tahu kapan berakhir.
“ De, sejak adikmu meninggal, sikap ibumu berubah hingga saat ini ” Kata ayahku dengan nada sedih.
“ Aku tahu itu Pa, memang sejak Beny meniggal, ibu sangat sedih dan aku tahu betul kalau ibu menyalahkanku atas kematian Beny ”.
Semua masalah yang kuhadapi tidak terlepas dari peristiwa dua belas tahun yang lalu. Pada waktu itu aku dan adikku Beny mencintai seorang gadis yang bernama Nia. Mulanya kami tidak tahu kalau kami mencintai gadis yang sama. Namun, setelah beberapa bulan, kami pun mengetahui kalau Nia adalah gadis yang sama-sama kami cintai. Mengetahui hal itu, Beny marah dan menuduhku selingkuh dengan Nia. Tapi aku bersikeras bahwa Nia hanya mencintaiku seorang. Pertentangan antara kami terus berlanjut sampai-sampai membuat ayahku turun tangan untuk mendamaikan kami dan memberikan jalan keluar yaitu kami harus menanyakan langsung pada Nia siapa yang dia cintai di antara kami berdua. Dan gayung pun bersambut, ternyata Nia memilihku dan menganggap Beny sebagai teman biasa. Keputusan itu sangat membuat Beny terpukul karena ia sangat mencintai Nia sepenuh jiwa dan raganya dan mengganggap bahwa cintanya pada Nia adalah cinta sejati yang dibawa sampai mati. Mulanya aku hanya cuek saja pada sikapnya karena aku pikir dia hanya main-main saja. Bukannya aku tidak memiliki rasa persaudaraan, namun, karena aku pun sangat mencintai Nia dan cinta itu membuatku buta.
Saking cintanya pada Nia, suatu hari Beny memberi ultimatum padaku bahwa kalau aku tidak melepaskan Nia maka ia akan bunuh diri. Sebetulnya aku agak kaget dan sedikit cemas, namun aku pikir Beny tidak mungkin berbuat senekat itu sehingga ancamanya kuanggap sepeleh saja. Mungkin karena aku terlalu dimabuk
Tak bisa kuingat lagi entah hari apa dan tanggal berapa peristiwa naas itu terjadi. Yang pasti aku masih ingat kalau peristiwa itu terjadi pada pagi hari ketika aku hendak mandi pagi. Pada saat pintu kamar mandi kubuka kulihat Beny dalam keadaan tak bernyawa dengan lilitan tali dilehernya. Setelah itu tak kuingat apa-apa lagi. Aku terjatuh dan baru kutahu kalau tadi aku pingsan dan dibopong oleh tetangga sebelah kekamarku. Setelah sadar tanpa berpikir panjang aku langsung keluar kamar menuju ruang tamu dan mendapati ibu sedang meratapi mayat adikku yang ternyata mati dengan jalan gantung diri. Awan gelap pun melingkupi rumah tangga kami…entah sampai kapan…aku pun tidak tahu.
Setelah peristiwa pilu itu ibu marah besar dan menyalahkanku karena tidak bisa mengerti akan keadaan adikku.
“Sungguh Bu, aku tak pernah menyangka kalau Beny senekat itu”. Hanya itu kata-kata yang bisa kuucapkan untuk membela diri dari amarah ibu yang bertubi-tubi menyerang serta memojokanku sebagai kakak yang tak bisa bertanggung jawab.
Peristiwa kematian adikku ditambah dengan kemarahan ibu yang tidak mau memaafkanku, benar-benar membuat beban psikologis yang kutanggung semakin berat. Bahkan sampai pernikahanku dengan gadis yang kupilih sendiri dan bukan Nia yang dibenci oleh ibu, toh hal itu pun tidak menyurutkan amarah ibu. Bahkan ia tidak memberikan restunya padaku yang kini telah menjadi anak semata wayangnya.
Kini dua belas tahun telah berlalu dan pada hari ini untuk kedua kalinya aku pulang kerumah orang tuaku dengan perasaan yang tidak menentu. Hujan yang turun sejak perjalanan tadi mulai reda, ketika mobil yang kami tumpangi semakin dekat dengan rumah ibu. Kedua anakku yang kondisi fisiknya kurang baik selama perjalanan karena hujan deras, sudah berangsur-angsur membaik dan mulai tertawa riang. Dari mimik muka mereka bisa kutebak kalau mereka sangat senang dan ingin bertemu dengan kakek dan neneknya yang belum mereka lihat sejak lahir. Di wajah polos mereka tersirat perasaan gembira karena mereka tidak memikul beban yang kupikul sekarang. Memang sekarang ini mereka masih kecil, masih hijau sehingga mereka belum bisa merasakan apa-apa. tetapi bagaimana kalau mereka besar nanti. Aku takut kalau mereka merasakan hal yang sama yang pernah kurasakan. Tak kubayangkan bagaimana perasaan mereka nanti bila sikap nenek mereka tetap sedingin es, mungkin mereka sangat marah dan akan membenci neneknya seumur hidup…akh…perasaanku semakin kacau. Aku takut dan semakin takut bila memikirkan hal itu. Seandainya ibu bisa melupakan semua itu dan mau menerima kami, seandainya ibu…
”Pa, kita sudah sampai, mengapa bingung saja ayo turun, kakek dan nenek sedang duduk didepan rumah, mereka pasti menunggu kita ya Pa?”. Aku hanya mengangguk pelan sekedar untuk menyenangakn hati mereka. Tetapi sebenarnya didalam hatiku masih tersimpan seribu tanda tanya. Aku turun duluan dan langsung memberi salam pada ibu tapi lagi lagi ibu menolaknya sambil melemparkan pandangannya kearah lain.
“Kalau ibu masih marah padaku apakah ibu juga akan marah dengan kedua cucu ibu ini?” kataku.
Sungguh di luar dugaanku, ketika melihat cucu-cucunya ibu langsung berbalik dan menggendong mereka dengan senang hati. Kulihat ibu memandangku dengan tatapan mata yang sudah lama tidak kulihat. Tatapan yang hanya kulihat sewaktu masih kecil dulu. Aku sudah lama tidak menemukan surga itu dan kini aku bahagia karena aku sudah menemukannya. Kulihat surga di dalam kedua bola matanya yang sayu...
Cinta, perhatian, kasih dan tangggung jawab terhadap sesama merupakan dunia seorang ibu. Kasih ibu adalah Benih yang tumbuh dari setiap cinta dan kebersamaan. Tetapi lebih dari semua itu, kasih ibu adalah dasar dari perkembangan humanisme universal.
Kayu Putih, Maret 2006
Ale, MULTI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
HARAP KOMENTARNYA YA (SARAN DAN KRITIK)